Indahnya Berbagi

Archive for January 21, 2009

Zuhud Di Dunia

“… maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia melalaikan/memperdayakan kamu dan janganlah pula syaithan memperdayakan kamu dari mengingat Allah”(QS 35:5).

 

 Telah kita fahami bahwa dunia bukanlah tempat tinggal terakhir bagi kita. Kelak pasti kita akan menghadapi kehidupan abadi di akhirat. Untuk itulah seluruh potensi dan aktivitas semaksimal mungkin lebih kita curahkan bagi kehidupan akhirat. Allah berfirman: “Dan carilah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu kebahagiaan akhirat, namun jangan kamu lupakan bagianmu di dunia….” (QS 28:77). Dengan bahasa ringkas perhatikan dunia, namun utamakan akhirat. Jangan dibalik, dahulukan dunia baru sisakan untuk akhirat. Pemahaman yang benar akan hakikat akhirat dan dunia akan memunculkan penyikapan yang benar terhadap keduanya.

 

Rasulullah dan sahabat-sahabatnya merupakan panutan bagi kita dalam menyikapi dunia dan akhirat. Keteladanan mereka tentang hal itu terangkum dalam sebuah kata yang kerap kita dengar : zuhud.  Abdullah bin Mas’ud berkata: Rasulullah tidur di atas tikar dan ketika bangun berbekaslah tikar itu di pinggangnya. Lalu kami berkata : Ya Rasulullah, bagaimana bila kami buatkan untukmu kasur yang empuk? Jawab Nabi : Untuk apakah dunia bagiku, aku di dunia ini bagaikan seorang yang bepergian, berhenti sebentar bernaung di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya (HR Bukhari). Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta dan benda, tetapi kekayaan sebenarnya ialah kaya hati (HR Bukhari-Muslim). Abdurrahman bin Auf meskipun hidup berkecukupan tetapi begitu dermawan dan berpenampilan sederhana, layaknya bukan seorang saudagar kaya. Ketika bersama-sama dengan pelayannya, orang yang tidak mengenalnya tentu tidak akan bisa membedakan yang mana “Abdurrahman bin Auf. Abu Bakar Ash-Shiddiq memberikan seluruh hartanya dfi jalan Allah, sehingga ketika Rasulullah bertanya apa yang dia tinggalkan untuk keluarganya, Abu Bakar menjawab: Allah dan Rasul-Nya. Nampaklah bahwa zuhud telah menjadi pakaian mereka dan dengan itu pula mereka meraih kemenangan demi kemenangan.

Zuhud sebagaimana kita fahami adalah mengambil secukupnya akan apa yang ada di dunia dengan kesadaran dan harapan bahwa kebahagian serta kepuasan yang tak terhingga  nanti akan diperoleh di akhirat. Sikap zuhud akan membentuk seseorang  menjadi pribadi yang qana’ah dalam kesulitan dan kekurangan sekaligus sederhana dan hemat dalam kelapangan dan kelebihan. Ungkapan ala kadarnya merupakan bahasa zuhud yang memang tidak bisa diterapkan sama bagi setiap orang. Bagi fulan A ala kadarnya berbeda dengan fulan B. Kebutuhan dan kondisi setiap orang memang berbeda. Hanya agaknya ada standardisasi minimal yang memang tidak boleh dilewati yaitu jangan mubazir, jangan mengambil hak orang lain dan mampu menjaga perasaan orang lain.

 Tidak mubazir dan tidak mengambil hak orang lain tentu merupakan standar zuhud yang insya Allah tidak begitu sulit bagi kita. Namun tentang menjaga perasaan orang lain alangkah sulitnya bagi kita. Betapa kita harus bisa empati dan hati-hati agar jangan sampai karena kita, timbul rasa ghill bahkan antipati pada diri seseorang. Menurut tinjauan syar’i   kita tidak mubazir dan tidak mengambil hak orang lain. Tapi kenapa masih ada suara-suara sumbang mengomentari gaya hidup kita.  Di sinilah  kecerdasan kita dituntut. Kecerdasan yang dikemas dengan keyakinan akan kemuliaan zuhud. Yang dengan kecerdasan itu kita mampu menyiasati tampilan ideal yang membuat orang ridha pada kita.

Tatkala kita telah mampu zuhud dengan sebenar-benarnya zuhud, saat itulah sebenarnya kita telah berbakti menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Maka semua orangpun akan zuhud pada kita. Mereka tidak akan menuntut lebih dari apa yang kita sanggupi, karena kita telah berupaya semampu kita memahami apa yang mereka ingini. Bila kemudian suatu saat kita mendapati saudara kita belum menjalankan zuhud sepenuhnya, maka jangan ada rasa ghill di hati. Datangi dia, komunikasikan dengan baik dan doakanlah. Semoga Allah membukakan hatinya untuk mau menerima nasihat kita. Yakinlah bahwa saudara-saudara kita adalah pribadi-pribadi terpilih yang mudah untuk menerima nasihat asalkan kita mampu mengkomunikasikannya dengan benar.

“…..dan kaum Anshar tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang telah diberikan kepada kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri butuh. Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS 59:9)

Mengenali Kesalahan dan Kelemahan Diri Sendiri

… فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“……maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS 53:32).
Mengetahui dan menyadari kesalahan adalah awal kebaikan. Sementara merasa benar terus adalah awal dari kehancuran. Kesalahan memang merupakan tabiat manusia, namun tidaklah bijaksana bila kita terus menerus melanggengkan kesalahan apalagi mewariskannya kepada binaan-binaan atau anak-anak kita. Surat An-Nisa ayat 9 mengingatkan kita bahwa ada keterkaitan yang erat antara kuat atau lemahnya generasi penerus dengan ketakwaan dan kebenaran ucapan orang tua atau pembina. Oleh karena itu sepantasnyalah kita selalu mawas diri jangan sampai kita mewariskan keburukan kepada penerus-penerus kita.
Hendaklah kita menjadi pribadi yang malu bila berbuat salah. Malu kepada Allah dan malu kepada orang-orang beriman. Tidak cukup sekadar mengetahui bahwa diri kita salah, tetapi kita begitu manja meminta permakluman dari Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat. Yang harus kita lakukan bukan hanya menjauhi kesalahan-kesalahan yang besar dan fatal tetapi juga berusaha menghindarkan diri dari kekeliruan-kekeliruan kecil. Sebab apapun bentuknya bila kita sadar melakukan kesalahan tetap saja itu merupakan dosa.
Siapa pun kita pasti pernah terjatuh pada kesalahan. Tugas kita adalah memohon ampun dan bertobat kepada Allah. Untuk kesalahan pada sesama manusia tentu saja kita harus meminta maaf lebih dulu kepada mereka. Jangan gengsi untuk mengakui kesalahan. Jangan sampai kita berbohong untuk membela kesalahan kita. Apalagi kita berargumen untuk membela kesalahan tersebut dan meminta orang lain menganggap bahwa kesalahan kita adalah kebenaran, na’udzubillahi min dzalik
Allah paling mengetahui tentang diri kita dan melebihi pengetahuan kita. Maka janganlah kita merasa diri kita bersih dan merasa diri paling benar. Kalaupun kita benar dan orang lain salah kita tidak boleh melecehkan kesalahannya. Kalau kita tidak ingin aib kita dibuka orang lain maka jangan buka aib orang lain. Meluruskan diri sendiri dan orang lain tidak perlu dengan cara membuka aib. Cukuplah kita meminta ampun kepada Allah dan melakukan langkah-langkah perbaikan yang lebih menjaga kehormatan diri dan orang lain. Terkadang ada orang yang karena kesalahannya terlanjur dibeberkan menjadi malu dan bersikap antipati, bukan hanya kepada yang membeberkan tetapi juga kepada wadah di mana si pembeber aib bernaung. “Janganlah karena engkau orang jadi benci terhadap Islam”(Al Hadits). Kebenaran harus diperjuangkan dengan cara yang benar pula, al ghaayah laa tubarrirul wasiilah (tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara).
Jadi masalahnya bukan tidak boleh mengungkap kesalahan orang lain, tapi bagaimana caranya agar pengungkapan itu tidak membawa dampak negative bagi yang bersangkutan: menghalanginya dari jalan Allah. Teruslah memperjuangkan kebenaran. Jantanlah mengakui kesalahan dan bijaksanalah dalam meluruskan kesalahan orang lain. Keberhasilan berawal dari kesadaran akan kesalahan, sehingga setiap pribadi senantiasa terus memperbaiki diri menuju kepada kesempurnaan. (2:208 3:134-135)
Sejarah mencatat pengakuan seorang wanita Al Ghamidiyah yang telah terjatuh kepada perzinahan. Bukan hanya sekadar mengaku tetapi wanita tersebut ingin bertobat dan minta dirajam. Saat itu Rasulullah menyuruh wanita tersebut melahirkan dan menyusui dulu anak dari hasil perzinahan tersebut. Setelah si anak sudah disapih barulah dilaksanakan hukum rajam. Dalam peristiwa itu terucap dari lisan Rasul bahwa wanita tersebut dijamin masuk surga.
Hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah betapa dengan pemahaman yang seadanya saja seseorang berani mengakui kesalahannya. Maka sepantasnyalah mereka yang memiliki pemahaman yang dalam lebih bersikap kesatria mengakui kesalahannya. Tidak cukup sekadar mengakui kesalahan tetapi harus dilanjutkan dengan tobat, kembali kepada kebenaran. Bila mengakui kesalahan tetapi tetap berkubang di kemaksiatan bagaikan kuda nil yang berkubang di lumpur kotor dan bau. Bertobat berarti mau membersihkan diri, bersedia dihukum dan siap melakukan hal-hal yang dapat menghapus kesalahannya. Rajam adalah salah satu bentuk hukuman sekaligus penyucian. Dan tentu saja harapan utama yang ingin dicapai adalah keridhaan Allah dan surganya. Bagi yang berwenang untuk melaksanakan hukuman tentu harus bijaksana sebagaimana Rasul. Jangan jijik dan sinis mengetahui kesalahan orang lain. Hantarkan kesalahan orang menuju kepada tobatnya. Mengantarkan si salah untuk meraih surga. Bukan membuat dia putus asa, mengurung diri atau, na’udzubillahi min dzalik, bunuh diri. Kalau kita ingin orang lain memaklumi kesalahan kita dan memberi kesempatan kita untuk berbenah diri maka kita juga harus mau memaklumi kesalahan orang lain dan memberinya kesempatan bertobat.
Berkenaan dengan sosialisasi penjatuhan sanksi seyogyanya kita memandangnya sebagai sarana bersuci. Inilah kesempatan untuk lebih menyelami arti haasibuu anfusakum qabla antuhaasabuu. Kita bahkan harus merasa dibantu oleh saudara-saudara kita lewat program tersebut. Tentunya program ini berlaku bagi semua. Tidak ada yang kebal hukum. Fatimah pun kalau mencuri pasti dipotong tangannya oleh Rasul. Maka di manapun posisi kita dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam struktur kepartaian misalnya, kita harus berani mengakui kesalahan, dan tentu saja juga siap dikenakan sanksi. Namun jangan kaget bila ada orang yang kita hormati atau kita kagumi suatu ketika juga terkena sanksi. Itu manusiawi. Bahkan itu menunjukkan kematangan tokoh kita tersebut (mau mengakui kesalahannya). Semua benda yang tidak steril (bukan nabi) pasti berdebu, pasti punya salah dan dosa. Maka jangan kita biarkan debu itu melekat, mari sama-sama bersihkan dengan semangat bersuci diri, “sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya”(91: 9-10)
Betapa kita menyadari seringkali kita gagal untuk terus bertahan dalam kebaikan. Mungkin itu disebabkan karena kita terlalu menganggap remeh kesalahan atau terlalu memanjakan diri dengan sifat Allah yang Maha Pengampun. Dengan penjatuhan sanksi kita terbiasa untuk lebih waspada terhadap kesalahan. Hukuman manusia masih begitu ringan. Terkadang masih terbalut dengan rasa kasihan dan permakluman. Semoga dengan terbiasa menjaga diri agar terhindar dari penjatuhan sanksi insya Allah akan mengantarkan kita untuk terbiasa menghindari dosa agar selamat dari azab Allah nanti di yaumil akhir.
… فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ …
….maka barang siapa yang dijauhkan dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh sangat beruntunglah ia……(3:185).