Indahnya Berbagi

Archive for March, 2010

Cerita Sendu di Awal Senja

Pekan ini kembali aku dapatkan cerita yang mengharu biru dari sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Dia seorang wanita cantik, periang, enerjik, semangat dan penuh vitalitas, namun sering menemui situasi yang unfavourable. Setelah aku simak lebih jauh, cerita itu sebenarnya sudah menjadi atribut bagi siapa saja yang memiliki kelebihan, apakah dia cantik, ganteng, pintar, kaya dst. Menurut pandangan umum, seseorang yang memiliki kelebihan pastilah akan mendapatkan kebahagiaan dari kelebihan yang dimilikinya. Namun kondisi nyata yang terjadi adalah seringkali berbanding terbalik. Seorang yang memiliki kelebihan (dari aspek duniawi) lebih banyak berkutat dengan masalah karena kelebihan yang dimilikinya. Sebagai ilustrasi, anda bisa bayangkan seorang yang memiliki kekayaan yang sangat melimpah. Bisa dipastikan sepanjang hari yang terpikir di benaknya adalah bagaimana menjaga agar asetnya aman dan menguntungkan, sehingga kehidupannya akan terus didominasi dengan perasaan takut dan khawatir. Segala sesuatu yang memiliki value tinggi biasanya juga memerlukan cost dan juga memiliki risiko tinggi juga. Jika kita punya Ferrari dan jalan-jalan di seputar Jabotabek yang penuh sesak, pasti akan khawatir mobilnya kesenggol angkot atau metromini. Intinya segala kelebihan pasti memiliki cost-nya sendiri-sendiri. Jika seseorang dikaruniai wajah jelita, pasti di sepanjang kehidupannya akan selalu menjadi pusat perhatian, dimanapun dan kapanpun dia berada. Tidak peduli apakah dia sudah ada yang punya maupun belum. Pesona yang berlebih inilah yang justru menjadi pemicu masalah, baik internal yang bersangkutan maupun orang lain. Untuk mengelola kelebihan tersebut dibutuhkan sikap yang lebih cermat dan hati-hati, sehingga risiko bisa lebih diminimalisasikan. Jika sedikit saja lengah dan sedikit larut dalam hingar bingar pergaulan, maka celah risiko itu akan melebar dan serangan dari luar akan semakin dirasakan oleh yang bersangkutan. Namun jika terlalu tertutup juga akan menimbulkan masalah karena si cantik tadi kurang dapat mengaktualisasikan hidupnya. Untuk memenej dan menjaga seorang wanita cantik, diperlukan seorang suami yang mengerti apa yang seharusnya pantas dilakukan oleh istrinya itu. Tidak terlalu melepas tapi juga tidak terlalu mengekangnya. Ini sama halnya saat anak-anak bermain layang-layang. Saat ada angin, benang dilepas lebih panjang, namun saat angin kurang bertiup, benang segera ditarik agar layang-layang tetap terbang tinggi. Yang lebih repot lagi adalah suaminya ganteng dan istrinya cantik. Ini lebih kompleks dan lebih berisiko. Makanya kita tidak heran, banyak pasangan yang dilihat begitu ideal laksana dewa dewi, tapi kemudian pecah berkeping-keping. Semoga ilustrasi di atas membuka cakrawala sikap kita tentang makna kehidupan dunia bagi akhirat, sehingga kita senantiasa fokus kepada perjalanan kita ke alam akhirat dengan mengoptimalkan potensi duniawi kita. Bagi mereka yang dikaruniai pasangan yang ganteng atau cantik, bersyukurlah dengan meningkatkan amal baik. Semoga penulis blog ini juga bisa lebih bersyukur karena dikaruniai pasangan yang cantik, pintar dan sholihah.

Membuka Diri

JAKARTA, KOMPAS.com – Membuka diri terhadap orang lain (self disclosure) itu ibarat mata uang, memiliki dua sisi. Di satu sisi berarti memasuki hubungan yang lebih matang. Di sisi lain, terdapat risiko dicemooh dan dikhianati. Bagaimanapun, self disclosure merupakan isyarat berkembangnya hubungan yang sehat yang perlu dikelola.

Kadang-kadang kita dibuat kagum oleh seseorang yang dengan sangat terbuka dapat menceritakan apa saja yang ia pikirkan, rasakan, dan inginkan. Meskipun banyak kesulitan atau kekurangan, hidup seolah dirasa sebagai hal yang ringan, dan dilakoni tanpa beban.

Kita dapat menjadi lebih nyaman berinteraksi dengan pribadi seperti itu. Karena ia terbuka, kita pun dapat menjadi lebih terbuka, dan akhirnya relasi berlangsung lebih akrab dan saling percaya.

Namun, pada kesempatan lain kadang terjadi sebaliknya. Kita justru merasa muak dengan seseorang yang terlalu membuka diri sampai ke hal-hal yang sangat pribadi, yang menurut kita tidak pantas untuk diceritakan kepada orang banyak.

Sebut saja namanya Mr X, kepada teman-teman di luar lingkungan kantor ia menceritakan bagaimana kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di kantornya: bahwa proyek di departemennya itu hanya 20 persen yang dioperasionalkan, dan 80 persen lainnya dibagi-bagi di antara pimpinan dan karyawan tertentu, termasuk dirinya. Ia menceritakan hal itu bukan didasari oleh keprihatinan karena ia sendiri senang menerima bagian.

Pada saat lain, Mr X menceritakan bahwa ia sedang ada janji dengan seorang bos untuk sama-sama pergi ke tempat praktik seorang paranormal demi keperluan tertentu. Bukan untuk urusan penyakit atau gangguan lain, tetapi buat melancarkan suatu tujuan yang tidak ia ceritakan. Cerita tersebut di lingkungan orang-orang yang hidup dengan budaya penuh etika bukannya menimbulkan simpati, malah menghasilkan cemoohan.

Hal ini juga terjadi dalam percakapan yang semula akrab antara sopir taksi (pria) dengan penumpang wanita. Pada akhir percakapan, si penumpang yang semula senang mendengar kisah sehari-hari sopir taksi akhirnya merasa terhina karena dia belakangan membanjirinya dengan kisah keberhasilan berkencan dengan beberapa wanita penumpang taksinya.

Di samping kondisi positif dan negatif seperti digambarkan di atas, ada kondisi lain yang dapat kita jadikan referensi untuk menentukan kapan dan bagaimana sebaiknya kita membuka diri.

Di sebuah perusahaan, Lisa (bukan nama sebenarnya) nyaris mengalami PHK setelah hampir setahun bekerja. Pasalnya, bukan karena ia tak punya kemampuan atau melakukan penyimpangan, tetapi karena adanya masalah keluarga yang mengganggu, sehingga kinerjanya sebagai asisten manajer sangat merosot.

Selama masalah itu berlangsung Lisa sangat gelisah, tetapi tidak berani bercerita kepada atasan karena merasa tidak pantas membicarakan persoalan pribadi dengan orang kantor. Singkat cerita, ketika ia mendapat teguran atasan, akhirnya ia memberanikan diri bercerita, dan akhirnya atribusi atasannya berubah.

Manajer itu kembali menaruh kepercayaan atas kemampuan Lisa, dan ia sendiri terus memberikan dukungan dalam mengatasi persoalan Lisa. Akhirnya Lisa dapat bekerja lebih tenang karena dimengerti keadaannya. Dengan atasan, meski tetap formal, berkembang pula relasi personal yang memberikan rasa nyaman.

Di balik kisah-kisah di atas secara sepintas kita dapat menemukan bahwa keterbukaan diri diperlukan, terutama dalam hubungan-hubungan jangka panjang (persahabatan, perkawinan, pekerjaan, dan sebagainya), dan bahwa perlu ada aturan main tertentu agar keterbukaan diri itu bersifat konstruktif.

De Janasz, Dowd, dan Schneider (2002) dalam bukunya Interpersonal Skills in Organizations memberikan informasi mengenai bagaimana membuka diri, manfaat, serta hal-hal yang menghambat.

Hal yang Diungkapkan
Ada rambu-rambu dalam pengungkapan diri agar hubungan menjadi efektif:

* Lebih mengungkapkan perasaan daripada fakta. Bila kita mengungkapkan perasaan terhadap orang lain, berarti kita mengizinkan orang lain mengenali siapa kita sesungguhnya. Misalnya, informasi bagaimana kita mengembangkan hubungan dengan saudara-saudari kita membuat orang lain memahami kita, daripada sekadar memberikan informasi bahwa kita memiliki saudara.

* Semakin diperluas dan diperdalam. Mungkin kita masih mengalami perasaan tidak nyaman berbagi pengalaman dengan seseorang yang seharusnya dekat dengan kita. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan hubungan ke arah yang lebih dalam (lebih mengungkapkan perasaan terhadap isu tertentu) dan diperluas (dengan mendiskusikan berbagai isu, seperti pekerjaan, keluarga, pengalaman religius, dan sebagainya).

* Fokus pada masa kini, bukan masa lampau. Bila berbagi pengalaman soal masa lalu menjelaskan mengapa dulu kita melakukan tindakan tertentu adalah bersifat katarsis (melepaskan ketegangan), tetapi dapat meninggalkan perasaan bahwa kita lemah. Hal ini terjadi terutama bila keterbukaan tidak berlangsung timbal balik. Jadi, lebih baik kita fokus pada situasi sekarang.

* Timbal balik. Kita harus selalu mencocokkan tingkat keterbukaan kita dengan tingkat keterbukaan orang yang kita jumpai. Hati-hati, jangan terlalu membuka diri secara dini, sebelum melewati masa-masa pengembangan hubungan yang familier dan saling percaya. Di sisi lain, bila diperlukan, tidak perlu menunggu orang membuka diri. Jangan takut untuk memulai langkah penting membangun hubungan. Berikan contoh, dan orang lain akan menyesuaikan diri. Bila orang tidak merespon secara seimbang, hentikan langkah tersebut.

Banyak Manfaat
Keterbukaan diri memiliki manfaat bagi masing-masing individu maupun bagi hubungan antara kedua pihak. Dengan membuka diri dan membalas keterbukaan diri orang lain, kita dapat meningkatkan komunikasi dan hubungan dengan orang lain.

Secara rinci manfaatnya adalah:

* Meringankan. Berbagi dengan orang lain mengenai diri atau persoalan yang kita hadapi, dapat memberikan kondisi psikologis yang meringankan. Misalnya, cerita tentang ketidakmampuan menghadapi ujian atau berakhirnya hubungan dengan seseorang. Bagaimana kita mengatasi hal itu? Bagaimana pandangan orang lain? Dengan membuka diri, kita memperoleh tambahan perspektif yang membantu diri sendiri melihat titik frustrasi dari sudut pandang orang lain.

* Membantu validasi (menguji ketepatan) persepsi terhadap realita. Dengan sudut pandang sendiri, kita mungkin cenderung menggunakan ukuran yang idealistis menurut diri sendiri. Bila kita mengomunikasikan hal tersebut dengan seseorang yang tepat (yang memberikan simpati, suportif, dapat dipercaya, dan pendengar yang baik), kita tidak hanya mendapatkan persetujuan, tetapi juga informasi yang diperlukan untuk lebih memahami diri sendiri, yang kita perlukan agar memahami dunia secara lebih realistis.

* Mengurangi tegangan dan stres. Bila kita menghadapi ketegangan atau stres karena suatu hal, bila tidak diungkapkan akan berkembang menjadi eksplosif (mudah meledak). Sebaliknya, bila diungkapkan kepada orang lain, kita akan menemukan jalan keluar. Andaikan tidak mendapat jalan keluar, setidaknya lebih ringan karena kita merasa tidak sendirian. Hal ini justru dapat membuat kita menjadi lebih dekat dengan orang lain dan menambah rasa nyaman pada saat itu maupun dalam relasi selanjutnya.

* Meringankan fisik. Terdapat keterkaitan antara pikiran dengan sistem tubuh kita. Adanya pengaruh positif pada pikiran (akibat pengungkapan diri), berakibat pada fisik. Berbagi atau mengungkapkan diri dengan orang lain, membuat stres kita berkurang, kecemasan berkurang, dan meredakan juga detak jantung dan tekanan darah. Dengan kata lain, pengungkapan diri dapat berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik, selain emosi.

* Alur komunikasi yang lebih jelas. Dengan menunjukkan keinginan untuk membuka diri terhadap orang lain, dan menghargai pengungkapan diri orang lain, berarti kita meningkatkan kemampuan untuk memahami sudut pandang atau perspektif yang berbeda. Dengan demikian, kita akan lebih percaya diri untuk mengklarifikasi niat-niat atau makna-makna dari orang lain. Adanya umpan balik lewat diskusi terbuka, kekaburan dalam komunikasi diminimalkan.

* Mempererat hubungan. Bila antarekan lebih saling mengenal satu sama lain, terjadi efek timbal balik: keterbukaan mengembangkan rasa senang yang semakin meningkatkan keterbukaan dan berakibat makin kuatnya rasa senang. Tanpa pengungkapan diri, tingkat keeratan hubungan dan kepercayaan berada pada level rendah. Dengan keterbukaan dihasilkan kepercayaan, dan dengan kepercayaan dihasilkan kerja sama. Di dalam organisasi, kerja sama dan saling percaya ini menentukan inovasi yang sangat penting agar tetap survive dan mampu berkompetisi.

Lebih dari itu, hasil riset menemukan bahwa bila antarekan kerja semakin menyukai kerja sama, mereka lebih produktif dalam mengerjakan proyek atau dalam situasi tim. @

Apakah Anda Pribadi Bahagia

JAKARTA, KOMPAS.com – Kebahagiaan memang bersumber dari diri sendiri, tetapi bukan berarti rasa bahagia itu diturunkan secara genetik. Ada beberapa faktor yang mampu meningkatkan taraf hidup menjadi lebih nyaman dan bahagia. Simak tanda-tanda berikut, apakah Anda sudah bahagia?

Banyak tersenyum
Sebuah studi menunjukkan, mahasiswa yang memiliki senyum terlebar dalam buku tahunan-nya ternyata lebih jarang yang bercerai dengan pasangannya. Orang yang banyak tersenyum ditengarai akan mempengaruhi suasana hati orang di sekitarnya.

Punya saudara perempuan
Mereka yang memiliki saudara perempuan cenderung punya kehidupan sosial yang lebih baik, lebih optimis dan punya kemampuan beradaptasi lebih baik.

Banyak aktivitas
Orang yang berbahagia lebih jarang menghabiskan waktu di depan televisi, begitu menurut data yang dilakukan para ahli dari Universitas of Maryland yang menganalisa data lebih dari 45.000 orang Amerika. Alih-alih menonton TV, mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk bersosialisasi, membaca atau terlibat dalam kegiatan sosial.

Menyimpan suvenir
Orang yang menggunakan suvenir, foto atau barang kenangan untuk mengingatkan mereka pada masa-masa bahagia yang pernah dilalui biasanya lebih bahagia dan menghargai hidup. “Kenangan indah akan mengingatkan kita betapa bahagianya kita dan membuat kita optimis akan mengalaminya lagi,” kata Sonja Lyubomirsky, PhD, profesor psikologi dari Universitas California.

Rutin berolahraga
Orang yang rajin berolahraga jarang mengalami stres dan lebih puas dengan hidupnya. Bila dibandingkan dengan orang yang malas olahraga, para penyuka jogging memiliki risiko 70 persen lebih rendah terkena stres. Demikian menurut penelitian yang dilakukan para ahli dari Denmark.

Hubungan erat dengan pasangan
Keintiman fisik dengan pasangan juga berkontribusi pada kebahagiaan seseorang. Orang yang menikah dilaporkan lebih berbahagia dibanding orang yang melajang. Ini antara lain karena kebutuhan dasar manusia untuk sentuhan dan kebersamaan dengan orang yang dicintai terpenuhi.

Berteman dengan orang bahagia
Bergaul dengan orang yang ceria akan meningkatkan perasaan bahagia dalam diri kita, demikian menurut studi terbaru. Seberapa sering Anda berinteraksi dengan orang lain sangat berpengaruh. Karena itu, jangan tolak ajakan sahabat karib untuk menghabiskan waktu bersama week end ini.

Punya dua sahabat
Di antara 654 orang dewasa yang sudah menikah, mereka yang mengatakan punya sedikitnya dua sahabat cenderung memiliki kepuasan dan kenyamanan dalam hidup.

Pria Lebih Nakal Saat Stres

BERLIN, KOMPAS.com — Kondisi psikologis pria dapat memengaruhi minat dan selera seksual mereka. Riset menunjukkan, selera pria terhadap lawan jenis menjadi lebih bervariasi ketika dalam kondisi tertekan.

Seorang pria biasanya cenderung tertarik pada pasangan yang memiliki kemiripan wajah dengan dirinya. Tetapi hasil penelitian tentang preferensi seksual menunjukkan, pilihan pria bisa berubah akibat mengalami stres. Kala tertekan, mereka menjadi lebih terbuka pada lebih banyak variasi wanita.

Dalam kondisi rileks, pria tak jatuh hati pada pasangan yang wajahnya tak mirip dengan mereka. Para pria menilai wanita ini 14 persen kurang menarik dibandingkan yang punya kemiripan wajah dengan mereka. Namun, pada kelompok pria stres, pasangan yang wajahnya tidak mirip dengan mereka dinilai 9 persen lebih menarik.

Johanna Lass-Hennemann dari Universitas Trier Jerman yang memimpin riset ini mengatakan, temuan ini sejalan dengan hasil riset sebelumya bahwa binatang kehilangan ketertarikan seksual yang normal ketika dalam kondisi stres.

“Pria cenderung mendekati pasangan yang berbeda dan menilai ini lebih menyenangkan ketika mereka dalam kondisi stres akut. Tapi kami tidak yakin bagaimana ini dapat tecermin dalam keputusan memilih pasangan yang sebenarnya,” ungkap Lass-Hennemann.

Para ahli menduga, ketertarikan memilih pasangan yang memiliki kemiripan wajah berkaitan dengan kecenderungan manusia menaruh kepercayaan lebih besar pada wajah yang familiar. Faktor ini pula yang memegang peran penting dalam menjalin hubungan jangka panjang. Akan tetapi, dalam kondisi stres, pengaruh kemiripan wajah ini tampaknya memudar.

Lass-Hennemann berspekulasi, stres mungkin meningkatkan kecenderungan pria menikahi atau bereproduksi dengan wanita yang memiliki perbedaan secara genetis. Manfaatnya adalah anak yang lahir dari hubungan ini mungkin dapat lebih tahan dan mampu mengatasi lingkungan yang penuh tekanan.

“Kami pikir bahwa lingkungan yang penuh dengan stres kronis seharusnya dapat meningkatkan perkawinan silang (outbreed). Sebab, perkawinan sedarah mungkin akan melahirkan keturunan yang tidak cukup beragam secara genetis,” ujarnya.

Dalam riset yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B ini, peneliti melibatkan 50 mahasiswa heteroseksual sehat yang dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama diminta mencelupkan tangannya dalam seember air dingin selama tiga menit sebelum menjalani tes. Sedangkan kelompok kedua diminta melakukan hal yang sama, tetapi dengan air yang bersuhu normal sesuai temperatur tubuh.

Peneliti juga melakukan pengukuran rata-rata detak jantung dan kadar hormon stres kortisol untuk memastikan bahwa pria pada kelompok pertama dalam kondisi yang lebih stres sebelum tes dilakukan.

Dalam tesnya sendiri, kepada para pria diperlihatkan serangkaian gambar lewat layar komputer. Beberapa di antaranya adalah gambar benda rumah tangga dan wanita telanjang. Sejumlah gambar wanita tersebut direkayasa secara digital untuk menyerupai wajah pria yang sedang diuji atau pria lain dalam kelompok penelitian.

Selama tes, sesekali diperdengarkan bunyi suara berisik untuk mengejutkan para pria dan mencatat reaksi mereka. Riset sebelumnya mengindikasikan, seseorang tidak merasakan terkejut ketika menemukan sesuatu yang menarik. Para pria ini juga diminta merata-ratakan seberapa besar mereka tertarik dan merasa terangsang.

Pada kelompok kontrol, para pria lebih tertarik pada wanita yang memiliki kemiripan wajah dengan mereka, sedangkan pada kelompok stres secara konsisten memilih dan merata-ratakan wanita yang tidak dikenal sebagai sosok yang menarik. Reaksi pada saat terkejut menegaskan ketertarikan mereka.

Menghilangkan Nervous Saat Berbicara

JAKARTA, KOMPAS.com – Berbicara di hadapan orang banyak merupakan hal yang mudah dilakukan oleh orang tertentu, tetapi cukup menegangkan bagi banyak orang. Satu hal yang menjadi penghalang utama untuk tampil dengan tenang adalah ketakutan untuk dinilai negatif. Bagaimana cara menyingkirkan ketakutan?

Melakukan presentasi adalah hal yang mudah dilakukan oleh sebagian orang, terutama oleh mereka yang profesional dalam bidang komunikasi atau public speaking. Namun, tidak semua orang mampu melakukan presentasi secara baik, memuaskan audiens.

Mereka yang gagal melakukan presentasi bukan saja para pemula yang kurang berpengalaman, melainkan juga orang-orang yang memiliki jam terbang tinggi sebagai eksekutif maupun yang aktif dalam kepengurusan berbagai organisasi.
Sebuah seminar diselenggarakan oleh salah satu institusi pendidikan ternama di Tanah Air beberapa waktu lalu. Peminat cukup banyak karena topiknya sangat menarik. Pembicaranya?

Seorang wanita manajer pemasaran dari sebuah perusahaan multinasional, yang katanya menerapkan strategi yang dipresentasikan. Ketika acara dimulai, terkesan pembicaraan dalam seminar itu bakal sangat menarik karena dibuka oleh seorang moderator yang berbicara dengan sangat menarik.

Meremehkan Peserta
Namun, sungguh tak terduga, dari menit ke menit presentasi oleh narasumbernya sendiri ternyata sangat menyebalkan. Bagaimana tidak?

Dalam dua jam seminar yang direncanakan, narasumber menghabiskan waktu antara lain untuk game yang tidak ada hubungannya dengan topik seminar (dengan hadiah produk dari perusahaan tempat ia bekerja); untuk mengenalkan sebuah organisasi internasional yang di dalamnya ia duduk sebagai pengurus.

Bahkan, ia tidak lupa menampilkan kegiatan beserta foto-foto dirinya dalam organisasi tersebut. Terakhir, materi pokok yang ditunggu-tunggu oleh peserta seminar dipresentasikan dengan tergesa-gesa tanpa penguasaan yang baik.
Lebih buruk lagi, makalah yang dipresentasikan itu ternyata bukan hasil karyanya sendiri, melainkan 100 persen berupa materi karya orang lain yang telah diseminarkan pada forum organisasi internasional yang diurusnya itu.

Alhasil, dalam sesi diskusi yang dibuka pada menit-menit terakhir, hanya satu peserta yang mengangkat tangan untuk bertanya. Selebihnya yang tampak adalah wajah-wajah peserta yang bersungut-sungut kecewa.

Belajar Kembali
Sungguh runyam, seminar yang tiketnya dijual cukup mahal untuk para akademisi dan praktisi organisasi/perusahaan itu berakhir sangat mengecewakan. Pasalnya, narasumber terlalu berfokus pada keinginannya sendiri, membelokkan topik utama kepada hal-hal yang tidak relevan, tidak mengenali kebutuhan audiens, tidak menguasai materi presentasi, dan tidak mengerti aturan main presentasi.

Bercermin dari kasus tersebut, alangkah baiknya bila kita kembali belajar mengenai bagaimana melakukan presentasi secara efektif. Selain itu, mengingat besarnya kemungkinan timbul rasa cemas menjelang dan ketika melakukan presentasi, berikut disajikan tip presentasi efektif dan juga tip mengatasi ketakutan presentasi. Semuanya disarikan dari tulisan de Janasz, Dowd, & Schneider (2002).

Tip Presentasi Efektif
Sebelum presentasi
– Teliti siapa audiens Anda: minat-minat dan keyakinan-keyakinan, jenis presentasi yang sesuai (berapa lama, bagaimana formatnya, dan jenis teknologinya).
– Pilih pakaian yang tepat, sesuai dengan keadaan audiens Anda: kasual atau formal?
– Siapkan apa yang akan Anda sampaikan: Anda tidak mungkin menuliskan semua kata yang akan disampaikan; buatlah daftar konsep apa saja yang akan disampaikan, dan kembangkan poin-poin percakapan yang mendukung konsep-konsep tersebut.
– Latihan: berlatih mengucapkan poin-poin tersebut secara urut dan dengan tone percakapan.
– Rileks: sesaat sebelum presentasi, pikiran harus jernih dan siap menjalankan tugas.

Selama presentasi
– Mengawali dengan anekdot atau kutipan kata-kata.
– Menyampaikan kerangka pemikiran kepada audiens.
– Menyampaikan argumen inti (pentingnya topik yang disajikan) pada awal presentasi, didukung data.
– Membangun sesi interaktif: ajukan pertanyaan-pertanyaan untuk membantu audiens fokus pada presentasi.
– Menggunakan teknologi, tetapi jaga supaya tetap komunikatif.
– Usahakan menarik, tetapi tidak perlu terlewat entertaining (menghibur). Yang penting peserta dibuat berpikir.
– Menutup dengan sebuah kutipan atau pesan penting untuk menegaskan esensi presentasi.

Sesudah presentasi
– Mengevaluasi: katakan pada diri sendiri, kapan dan apa yang baik dilakukan pada presentasi yang akan datang.
– Follow-up: siapkan dan kirim materi atau data yang Anda janjikan kepada audiens, dan sampaikan ucapan terima kasih secara formal kepada panitia atau pengelola acara. @