Indahnya Berbagi

Archive for May, 2012

Kesejukan Berasal dari Hati

Masalah kehidupan akan bermula dari suasana hati.  Misalnya Anda melihat sebuah masalah sepertinya sangat runyam untuk diurus.Jika hati Anda semakin gugup dan tidak berdaya, melihat masalah itu sangat sulit, maka masalah itu mungkin bisa benar-benar berubah sesuai dengan hati Anda, berubah menjadi semakin sulit untuk diselesaikan, karena hati Anda sudah dikalahkan diri sendiri. Tetapi sebaliknya, jika Anda selalu mempertahankan ketenangan hati yang gembira dan puas, keadaan yang penuh berkeyakinan, maka keberhasilan tidak akan jauh dari Anda.

Semua orang ketika saling memberikan selamat selalu mengatakan, “Semoga Anda bisa berhasil sesuai dengan keinginan Anda.” Sebenarnya jika dalam pikiran Anda tidak berani memikirkan hal-hal yang baik dan positif, seluruh benak Anda akan terpenuhi oleh informasi kegagalan, maka keberhasilan akan semakin menjauhi Anda.

Penelitian ilmu pengetahuan dewasa ini telah menemukan bahwa pikiran dan informasi yang dikeluarkan otak manusia semua adalah benda-benda berbentuk materi.

Kebaikan atau keburukan yang dipikirkan dan dikerjakan manusia, akan berpengaruh sangat penting bagi orang itu sendiri atau orang lain. Para ilmuwan melakukan sebuah eksperimen, mengambil sampel udara orang yang sedang marah. Udara tersebut dilarutkan ke dalam air, lalu larutan air tersebut disuntikkan ke dalam tubuh seekor tikus putih, akhirnya… tikus putih tersebut mati karena keracunan!

Banyak sekali orang zaman sekarang beranggapan bahwa jika dirinya merasa tidak enak hati, merasa diperlakukan tidak adil, merasa marah, sudah sewajarnya jika harus dilampiaskan sepuas hati, dengan demikian dirinya akan merasakan sangat puas dan nyaman.

Ada berapa orang yang memikirkan saat Anda mengutuk, mencaci maki dalam hati yang melukai orang lain itu, sebenarnya pada saat itu pula Anda telah menebar racun yang bereaksi lamban pada diri sendiri dan ia bisa melukai Anda!

Orang dulu mengatakan, mengumpulkan De (pahala atau substansi putih yang mengelilingi tubuh di dimensi lain) atau kehilangan De sebenarnya itu berprinsip pada ilmu pengetahuan.

Dengan kata lain dapat dikatakan seperti ini: Tidak peduli Anda berpikir untuk diri Anda sendiri atau menyangkut keuntungan orang lain, melakukan atau mengurus sesuatu persoalan harus berdasarkan hati nurani. Norma untuk menjadi seorang manusia sejati adalah, “Kebajikan, keadilan, kebenaran, santun, kecerdasan dan dapat dipercaya.” Seseorang yang mengasuh dirinya perlu berbekal norma-norma itu.

Jika semua orang tulus dan jujur, baik, bermurah hati dan mau mengalah maka masyarakat ini akan menjadi damai dan harmonis, manusia sendiri juga akan mendapatkan kebahagiaan, kesehatan, kedamaian dan kegembiraan

Pelajaran Olahraga dan Akademis

Jakarta, Detik.com. Banyak orangtua yang memantau perkembangan pendidikan anak dari nilai-nilai ujian, mata pelajaran atau rapornya.

Kadangkala jika nilainya jelek, orangtua bukannya mendorong atau memberi solusi untuk memperbaiki nilai, tapi justru menyalahkan anaknya.

Lebih baik jika para orangtua ingin nilai anaknya membaik atau meningkat, dorong anak untuk aktif mengikuti pendidikan jasmani.

Hal ini didasarkan pad hasil studi baru di Swedia yang mengungkapkan bahwa peningkatan pendidikan jasmani anak dapat memperbaiki bahkan meningkatkan nilai-nilai mata pelajarannya di sekolah.

Peneliti Swedia mendapatkan kesimpulan ini setelah mengamati lebih dari 200 anak selama 9 tahun. Ke-200 anak tersebut dibagi menjadi 2 kelompok: intervensi dan kontrol.

Anak-anak di kelompok intervensi menerima pendidikan jasmani lima hari seminggu ditambah pelatihan keterampilan motorik-fisik tambahan seperti keseimbangan dan koordinasi. Sedangkan anak-anak di kelompok kontrol pendidikan jasmani biasa.

Hasilnya, 96 persen anak-anak di kelompok intervensi mencapai nilai yang memadai untuk naik ke jenjang sekolah menengah dibandingkan dengan 89 persen anak-anak di kelompok kontrol.

Perbedaan ini juga sangat kentara pada anak laki-laki (96 persen pada kelompok intervensi dan 83 persen di kelompok kontrol). Anak laki-laki dalam kelompok intervensi memiliki nilai yang lebih tinggi di mata pelajaran Bahasa Swedia, Bahasa Inggris, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan daripada anak laki-laki di kelompok kontrol.

Studi ini juga menemukan bahwa pada saat mencapai kelas 9, 93 persen siswa dalam kelompok intervensi memiliki keterampilan motorik-fisik lebih baik dibandingkan 53 persen siswa dalam kelompok kontrol.

“Di Swedia, awalnya pendidikan jasmani diberikan dalam 3 kali seminggu namun sayangnya kini telah diubah menjadi 1-2 kali seminggu saja,” ungkap peneliti Ingegerd Ericsson dari Malmo University seperti dilansir dari HealthDay, Senin (28/5/2012).

“Padahal kami telah mengkonfirmasi secara ilmiah bahwa pendidikan jasmani harian dan pelatihan kemampuan motorik-fisik tidak hanya meningkatkan kemampuan motorik tetapi juga prestasi di sekolah,” ujarnya.

Sebab Depresi Pekerjaan

KOMPAS.com – Beberapa riset telah menemukan hubungan antara pekerjaan dan risiko depresi. Namun para ahli di Kanada mengungkapkan, depresi akibat pekerjaan pada perempuan dan pria dipengaruhi oleh hal yang berbeda.

Peneliti mengatakan, perempuan cenderung lebih rentan mengalami depresi apabila mereka tidak dihargai atas pekerjaan mereka atau tidak mendapatkan perhargaan atas apa yang mereka lakukan. Sementara pada pria, hubungan tersebut tidak ditemukan.

Pada pria, risiko depresi lebih mungkin disebabkan karena intensitas jam kerja, terutama pada pria yang bekerja secara penuh (fulltime). Sedangkan konflik keluarga dan pekerjaan turut memengaruhi risiko depresi baik pada pria maupun wanita, tetapi dalam cara yang berbeda.

Pria cenderung mengalami peningkatan risiko depresi jika kehidupan keluarga mereka memengaruhi kehidupan kerja. Sedangkan perempuan berisiko depresi jika kehidupan pekerjaan mereka mengganggu kehidupan keluarga.

“Meskipun lebih banyak tenaga kerja perempuan dan lebih banyak pria yang menjadi tulang punggung keluarga, baik pria dan wanita mungkin melihat peran keluarga atau pekerjaan secara berbeda,” kata peneliti Jianli Wang, profesor di Departemen Psikiatri dan Komunitas Ilmu Kesehatan di University of Calgary di Alberta, Kanada.

Dalam kajiannya, Wang dan rekannya meneliti sekitar 2.700 pria dan perempuan yang hidup di Alberta antara tahun 2008-2011 dan tidak mengalami depresi. Peserta diikuti untuk melihat apakah mereka mengembangkan depresi. Peserta juga diminta menjawab pertanyaan mengenai pekerjaan mereka, seperti tekanan dalam pekerjaan dan apakah mereka merasa cukup dihargai atas usaha mereka atau tidak.

Setelah satu tahun, 3,6 persen dari peserta didiagnosis dengan depresi. Insiden depresi lebih tinggi pada wanita (4,5 persen), sedangkan pada pria (2,9 persen)

Perempuan yang bekerja secara fulltime, yakni antara 35 sampai 40 jam dalam seminggu, memiliki peningkatan risiko terkena depresi. Sementara pada pria yang bekerja fulltime dan mendapatkan tekanan kerja yang tinggi rentan mengalami depresi sekitar 11 persen dibandingkan dengan 1,5 persen pria yang bekerja fulltime dan tidak memiliki beban kerja tinggi.

Khawatir tentang kehilangan pekerjaan juga meningkatkan risiko depresi pada pria dan wanita.

Wang mengatakan, depresi memiliki dampak signifikan pada kesehatan karyawan dan mempengaruhi prestasi kerja. “Para pengusaha harus memantau besarnya faktor risiko ini, seperti ketegangan pekerjaan, untuk mencegah efek negatif pada pekerja, kata Wang.

Menurut Wang, perlu penelitian lebih lanjut dengan skala lebih besar untuk mengkonfirmasi hasil temuannya. Penelitian yang lebih besar juga dapat membantu dalam pengembangan strategi bagi pengusaha untuk mencegah depresi pada karyawan, kata para peneliti. Studi ini dipublikasikan pada 3 Mei 2012 dalam American Journal of Epidemiology.

Pasien Bipolar Punya Kreativitas Tinggi

JAKARTA, KOMPAS.com – Orang dengan gangguan bipolar atau gangguan kejiwaan, ternyata lebih banyak diderita oleh mereka yang berasal dari kelompok berpendidikan tinggi dan memiliki kreativitas tinggi.

“Orang bipolar bisa menghasilkan ide-ide fantastis dan aneh yang orang lain tidak pernah pikirkan. Bahkan banyak diantara mereka yang jadi orang sukses,” kata Ketua Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) dr. Handoko Daeng, SpKJ (K) saat acara seminar media ‘Gangguan Bipolar: Dapatkah Dikendalikan?’, Rabu, (25/4/2012), di Jakarta.

Handoko menyebutkan, banyak orang-orang terkenal dan jenius yang justru memiliki penyakit kejiwaan. Sebut saja seperti Vincent van Gogh, pelukis ternama ini diketahui mengidap bipolar dan karena tidak bisa mengatasi gangguan mental yang dideritanya, dia akhirnya meninggal karena bunuh diri. Gangguan bipolar merupakan suatu gangguan jiwa yang bersifat episodik (berulang dalam rentang waktu tertentu) dan ditandai oleh gejala-gejala perubahan mood biasanya rekuren dan berlangsung seumur hidup.

Handoko mengatakan, sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa penyebab munculnya gangguan bipolar. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh banyak faktor. Keterlambatan dan misdiagnosis dapat memberikan dampak meningkatnya risiko bunuh diri, perilaku merugikan.

“Kenapa lebih sering dialami oleh orang berpendidikan tinggi dan sosial ekonomi tinggi? Sebetulnya itu merupakan suatu seleksi alam,” cetusnya.

Sementara itu, dr. Agung Kusumawardhani, SpKJ (K), Kepala Departemen Psikiatri RSCM menyampaikan, dari penelitian epidemiologi memang ditemukan bahwa kasus bipolar banyak ditemukan pada mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, tapi bukan berarti mereka yang berpendidikan rendah tidak ada yang terkena.

“Di RSCM cukup banyak pasien bipolar yang mendapatkan layanan Gakin dan SKTM. Jadi mereka ada juga dari kalangan ini,” terangnya.

Lebih lanjut Handoko memaparkan, bipolar bukanlah sebuah sifat yang ada pada diri seseorang, tetapi lebih kepada sebuah disorder atau gangguan yang dapat diatasi. Penundaan dalam diagnosis akan mengakibatkan penderita mengalami depresi berat sehingga dapat menunjukkan perilaku yang dapat membahayakan tidak hanya untuk si penderita tetapi juga orang disekitarnya.

Sebagai contoh, kasus kekerasan dalam rumah tangga. Banyak orang menduga bahwa kekerasan yang dilakukan suami kepada isri dikarenakan sifat pribadi bawaan seseorang.

“Padahal ini bukanlah sifat kepribadian, melainkan gangguan yang dapat diatasi,” katanya.

Gejala Gangguan Mental

KOMPAS.com – Masalah kesehatan mental sering diungkapkan dengan sejumlah istilah seperti stres, depresi atau kegelisahan. Meskipun masalah kesehatan mental sangat umum dan memengaruhi hampir banyak orang, stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan masalah kesehatan mental masih sangat kental.

Ada beberapa gejala kesehatan mental yang perlu Anda ketahui dan tidak boleh diabaikan. Pasalnya, apabila hal ini Anda biarkan, penanganannya mungkin akan menjadi lebih berat. Berikut adalah enam gejala terkait masalah kesehatan mental yang tidak boleh Anda diabaikan.

1. Terlalu banyak tidur

Tidur sangat penting untuk mengatur emosi jiwa seseorang. Tapi jika seseorang tidur terlalu lama, hal ini justru dapat menjadi gejala depresi dan masalah medis lainnya. Jika Anda tidur lebih dari 8 jam sepanjang malam namun tidak merasa seperti telah beristirahat, segera konsultasikan kondisi ini dengan dokter Anda.

2. Tidak cukup tidur

Susah tidur atau merasa seperti belum beristirahat ketika Anda terbangun juga merupakan gejala umum dari masalah depresi dan kecemasan. Kurang tidur dapat berkaitan dengan masalah gangguan tidur yang biasa disebut sleep apnea dan ketidakseimbangan hormon. Jangan menunda untuk berbicara dengan seorang profesional medis jika Anda tidak memiliki waktu untuk tidur.

3. Jantung berdegup kencang

Segera bicarakan dengan dokter atau tenaga medis bila Anda merasa seolah-olah mengalami serangan jantung. Detak jantung yang tidak beraturan juga bisa menjadi awal terjadinya serangan panik. Serangan panik atau panic attack adalah perasaan teror yang datang menyerang secara tiba-tiba tanpa peringatan. Suatu serangan panik secara khas berlangsung beberapa menit dan merupakan suatu kondisi penuh tekanan yang dapat dialami oleh seseorang.

4. Perut nyeri

Sakit perut dapat menjadi gejala dari stres atau kecemasan. Jangan abaikan sakit perut yang berlangsung lama. Banyak kasus menunjukkan bahwa pasien yang mengalami kecemasan kronis umumnya diikuti dengan ganguan masalah pada perut. Ketika seseorang mengatasi gejala kecemasannya, masalah sakit perut biasanya juga berangsur membaik atau hilang sepenuhnya.

5. Sakit kepala

Sering stres dan tegang dapat memicu sakit kepala. Jika Anda mengalami sakit kepala namun di sisi lain sedang berurusan mengalami stres berat atau kecemasan, segera cari bantuan dari orang yang profesional. Mempelajari beberapa teknik dalam mengatasi stres secara signifikan dapat meringankan gejala sakit kepala.

6. Perubahan suasana hati (mood)

Perubahan mood yang terjadi sangat cepat adalah gejala dari masalah kesehatan mental yang perlu ditangani. Perubahan suasana hati yang sangat ekstrem, dari sangat gembira menjadi depresi dan terus berulang, bisa jadi awal dari perkembangan gangguan bipolar. Meskipun bipolar termasuk gangguan kejiwaan yang bersifat kronik, serius dan sering berpotensi fatal, gangguan ini dapat dikendalikan.

 

Kurang Relasi Sosial Perburuk Kesehatan

KOMPAS.com – Hubungan sosial memengaruhi kondisi fisik orang terkait. Menurut editor Scientific American Mind, Ingrid Wickelgren, Selasa (24/4), rasa sakit hati yang muncul dalam relasi sosial ataupun rasa sakit fisik terkait dengan bagian otak yang disebut korteks singulat anterior.

Artinya, rasa sakit hati memengaruhi kondisi fisik. Studi yang dipublikasi awal tahun ini menunjukkan, ikatan sosial yang dibangun dengan keluarga dan teman menurunkan risiko kematian pada perempuan muda penderita kanker payudara dan meningkatkan daya hidup pasien pascaoperasi jantung. Sebaliknya, kurangnya hubungan sosial bisa memperburuk kondisi kesehatan.

Hal ini diperoleh dari analisis data 148 studi yang melibatkan 4.775 warga Alameda County, San Francisco, Amerika Serikat, tahun 2010. Responden ditanyai hubungan sosial mereka, seperti status pernikahan, hubungan dengan keluarga besar dan teman, ataupun afiliasi dengan kelompok tertentu.

Tim peneliti menelusuri riwayat kesehatan responden selama 9 tahun kemudian. Hasilnya, mereka yang memiliki indeks jejaring sosial rendah berisiko meninggal dua kali lebih tinggi dibandingkan yang memiliki indeks jejaring sosial tinggi. (SCIENTIFICAMERICAN/MZW)