Indahnya Berbagi

Archive for May 2, 2009

Hati-Hati Terhadap Dosa

Dan orang-orang yang telah memberikan apa-apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan , dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (Al Mukminun 57-60)

Imam Turmudzi meriwayatkan, dahulu ada dua orang bersaudara dari Bani Israil. Satu dari dua bersaudara itu sangat alim dan taat. Sedang satu lagi gemar berbuat dosa. Yang taat selalu mengingatkan saudaranya agar berhenti dari kebiasaannya itu. Begitulah hari-hari keduanya berlalu. Seringkali yang taat merasa jengkel dengan tingkah saudaranya, tetapi tetap saja tak banyak berubah meskipun ia telah bertaubat. Sampai suatu hari si taat yang tengah kesal berkata kepada saudaranya, “Engkau tidak akan diampuni Allah”.

Setelah keduanya wafat, Allah memanggil dua orang bersaudara itu. Kepada yang saleh dikatakan, “Mengapa engkau bilang bahwa saudaramu tidak akan diampuni. Apakah engkau yang punya hak atas ampunan itu?” Akhirnya yang banyak dosa itu malah diampuni Allah dan yang alim dimasukkan neraka.

Jangan Buruk Sangka Terhadap Allah

Alangkah pentingnya pelajaran di atas. Seorang yang mencapai kesalehan dengan mentaati Allah sekali pun tidak boleh melampaui wewenang Allah. Dia tidak boleh merasa berhak mengampuni atau menyiksa. Ini sangat tidak etis di hadapan Allah dan merupakan cacat akidah yang parah karena sangka buruknya terhadap Allah.. Allah telah menyebutkan salah satu sifat munafikin dan musyrikin,

Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu bersangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran kebinasaan yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka  serta menyediakan bagi mereka neraka jahannam, Dan (neraka jahannam) itulah sejahat-jahat tempat.  (Al Fath: 6)

Setiap muslim semestinya hati-hati dari bersangka buruk terhadap Allah. Allah tidak pernah menutup pintu taubat bagi siapa pun yang berusaha untuk melaluinya.

Perbuatan taat seorang hamba atau pun perbuatan dosa yang dilakukannya belum memberikan jaminan dalam posisi apa dia di hadapan Allah. Dalam konteks ini DR. Yusuf Al Qardhawi menukil pernyataan seorang salafus saleh, “Adakalanya seorang hamba berbuat dosa yang justru membuatnya masuk syurga. Adakalanya seorang hamba melakukan ketaatan yang justru membuatnya masuk neraka”.

Orang-orang bertanya, “Mengapa itu bisa terjadi?”. Salafus saleh tersebut menjawab, “Seorang hamba berbuat dosa dan dosa itu selalu membayang di pelupuk matanya. Saat berdiri, duduk, dan berjalan dia selalu ingat dosanya itu sehingga menggugah kegelisahan, taubat, istighfar, dan penyesalan. Lalu hal itu menjadi sebab bagi keselamatannya. Adakalanya seseorang itu melakukan kebaikan dan kebaikan itu sendiri membayang di depan pelupuk matanya. Saat berdiri, duduk, dan berjalan ia selalu ingat kebaikannya itu. Lalu membuatnya ujub dan takabbur yang menjadi sebab bagi kesengsaraannya.

Mengapa Lalai

Pintu taubat selalu terbuka. Sampai ruh mencekik di kerongkongan. Jangan pernah putus asa dari ampunan Allah, tapi jangan pula merasa pasti akan ampunan-Nya. Mohon-mohonlah ampunan Allah dan kasih sayang-Nya terus-menerus tanpa rasa bosan. Bersyukurlah kita karena hingga saat ini kita masih diberi waktu untuk menghirup udara kehidupan. Untuk apa usia bila tidak diisi dengan taubat, karena siapa tahu – beberapa saat lagi, esok atau lusa ajal menjemput dengan tiba-tiba.

Orang sering lalai dari bertaubat karena menganggap dirinya berada dalam keadaan taat. Padahal boleh jadi ketaatannya itu memerlukan taubat tersendiri karena sesungguhnya berdiri di atas prinsip-prinsip keyakinan yang keliru dalam pandangan Allah Azza Wa jalla. Banyak orang yang taat tetapi karena mengharapkan pujian orang lain, atau taat karena ikut-ikutan, atau taat yang jauh dari keikhlasan lainnya.

Boleh jadi dosa seseorang lebih bermakna baginya jika disusuli dengan istighfar dan taubat. Kuncinya adalah kejujuran. Pengakuan akan kesalahan dan keinginan yang kuat untuk meninggalkan. Itulah dosa yang menimbulkan rasa takut kepada Allah, malu, dan tunduk kepada-Nya dengan sepenuh penyesalan. Sebaliknya bila ketaatan yang dilakukan hanya menimbulkan kesombongan dengan banyaknya ibadah yang dilakukan, atau menimbulkan sifat menghinakan hamba Allah lainnya, maka ketaatan seperti itu hanya sia-sia. Seperti kita jumpai pada orang-orang yang beribadah tetapi hatinya sendiri merasa jumawa, “Inilah aku. Orang yang saleh. Calon penghuni syurga!”

Maka jangan pernah menghakimi orang lain dengan neraka atau syurga karena hal itu merupakan rahasia Allah. Terkecuali terhadap orang-orang yang dijamin Allah posisinya seperti para Rasul dan sahabat-sahabat mereka yang setia.

Akan halnya terhadap diri sendiri, hendaknya kita merasa tetap dalam kekurangan dan kelemahan. Ingatlah kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan dan lupakanlah segala bentuk taat. Sekecil-kecil dosa harus dianggap besar karena memandang kepada siapa kita berdosa. Dan ketaatan sebesar apa pun harus dianggap kecil karena masih jauh dari kepatutan. Inilah adab terhadap Allah yang sering dilupakan orang.

Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang telah memberikan apa-apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan , dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (Al Mukminun 57-60)

Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam pernah menjelaskan kepada sayyidah Aisyah bahwa orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan dengan hati yang takut adalah orang-orang yang bertaqwa yang meraa tidak puas dengan amal ibadahnya. Mereka takut amalnya ditolak Allah.

Mengevaluasi Diri

Setiap muslim memang diwajibkan untuk lebih peduli pada amalnya sendiri daripada amal orang lain. Banyak orang yang sibuk dengan aib orang lain tetapi tidak pernah memikirkan aibnya sendiri. Dia memandang rendah orang lain padahal dirinya sendiri diliputi kehinaan. Banyak orang yang bersibuk-sibuk mengajak orang lain ke jalan Allah tetapi dirinya sendiri dia lupakan. Bukankah Allah telah mengingatkan,

Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebajikan sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri? Padahal kamu membaca Al Kitab. Maka apakah kamu tidak berfikir? (Al Baqarah:44)

Sementara itu, orang-orang menganggap dirinya sebagai orang soleh dan ia sendiri merasa nyaman dengan posisi itu, padahal dia jauh dari sangkaan orang. Sering orang banyak mengaminkan doanya di tengah kenduri padahal di kala  sendirian dia tak pernah memohon dengan khusyuk di hadapan Allah.

Hubungan seseorang dengan Allah merupakan rahasia pribadinya. Sehingga Umar bin Khattab Radliyallahu Anhu berkata, “Kita hanya bisa menghukumi dimensi lahiriah, sedang apa yang tersembunyi Allah-lah yang mengurusinya”. Yang penting bagi setiap orang adalah menghitung dirinya sendiri, sebagaimana kata Umar bin Khattab Radliyallahu Anhu, “Hasibuu anfusakum qabla antuhasabuu” (Evaluasilah dirimu sebelum kamu dievaluasi Allah)….

Manusia tidak dilihat dari sisi lahiriah pada saat ini saja. Akhir hayat sangat menentukan bagaimana posisinya di hadapan Allah. Karena itu Husnul Khotimah sangat penting bagi orang-orang yang menyadari kelemahan dirinya di hadapan Allah. Semoga Allah memberikan husnul khotimah itu kepada kita.

Jalan Simpang

Dalam suatu perjalanan tentu kita sering menemukan persimpangan jalan. Untuk menentukan jalan mana yang akan kita lalui, biasanya di mind set kita sudah ada rencana, sehingga kita menjadi yakin dengan arah yang nanti akan kita tuju. Sering ketika kita merenungi hidup ini, terpikir akan banyaknya jalan simpang yang telah dan akan kita lalui. Kalau kita tengok ke belakang, ternyata kita telah sukses melewati jalan simpang yang berliku dan mendaki. Pikiran kita ke depan adalah menapak jalan simpang itu dengan hati-hati, penuh perhitungan dan selalu berdoa agar selamat meniti sampai tujuan. Seperti istilah di atas, saat ini pun aku sedang memikirkan banyaknya persimpangan jalan di depan yang cukup rumit untuk menentukan mana yang akan kulalui. Dari sejarah kehidupan, sejatinya aku sudah terbiasa menemukan jalan simpang sejak masih anak-anak. Jalan simpang itu selama ini benar-benar jalan yang sama-sama nyaman untuk dilalui karena memang memiliki bekal yang cukup untuk melalui apapun pilihan yang akan diambil. Saat ini jalan simpang itu adalah soal menentukan karir dan cita-cita ke depan. Alhamdulillah dengan bekal yang ada saat ini, aku insya Allah memiliki banyak kemungkinan untuk memilih karir di masa depan. Yang jadi masalah adalah karir mana yang akan kulalui. Sempat terpikir untuk memilih jalur publik untuk menggapai cita. Atau seperti sekarang, berkutat di birokrasi. Atau fokus ke pendidikan untuk suatu saat menjadi guru besar. Atau menajamkan knowledge yang ada menjadi seorang enterpreneur. Beberapa tahun silam aku konsultasi dengan psikolog soal apa kompetensi yang paling banyak kumiliki. Setelah melakukan suatu test akhirnya disimpulkan bahwa aku memiliki sikap dan kompetensi yang cocok untuk karir apa saja. Salah satu yang menonjol adalah sikap sebagai leader maupun manajer. Meski demikian, simpulan dari psikolog ini justru menguatkan bahwa apapun karir yang aku pilih akan sesuai. Hal inilah yang justru membingungkan karena nggak ada satu bidang yang sangat dominan. Dengan simpulan tersebut akhirnya untuk penetapan pilihan harus melalui sholat istikharah sebagaimana yang biasa kulakukan selama ini. Kita sadar bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi positif dan negatif yang berbeda-beda sehingga kita harus siap menghadapinya.

Satu pilihan yang pasti adalah surga Alloh SWT sebagai orientasi kehidupan yang paling tinggi, sehingga segala upaya saat ini fokus ke sana. Saat ini aku akan pergunakan waktu dengan a semakin dekat kepada Nya untuk menentukan langkah yang tepat ke depan. Apalagi ada pameo “life begins fourty”. Semoga fokus karir setelah usia 40 ini akan semakin jelas dan mantap serta terbingkai dalam ketaatan kepada Alloh SWT. Amin